28 April 2006

berita hari ini: MORAL vs "MORAL"


somebody tell me.
why it feels more real when i dream
than when i am awake?

how can i know if my senses are lying?
there is some fiction in your truth,
and some truth in your fiction.

to know the truth, you must risk everything.
who are you?
am i alone?

...
hari ini gw semakin ga bisa buang jauh2 prasangka jahat tentang dunia
gimana bisa positive thinking kalo di semua berita manusia saling klaim paling bermoral
paling baik, paling demokratis... belom lagi semua berhak bilang atas nama manusia
hah...
gw terpaksa bilang SELAMAT TINGGAL BOEMIMANUSIA...
...
kebenaran cuma ada di dongeng sebelum tidur
sisanya...
sampah !!!

10 April 2006

porno virus.. from GM

From: Goenawan MOHAMAD
Sent: Wednesday, March 08, 2006 1:51 PM
Subject: RUU Porno

Ini saya ambil dari Koran TEMPO hari ini. Mohon komentar, mohon disebar.
Terimakasih,
Goenawan
___

Rabu, 08 Maret 2006
Opini
'RUU Porno': Arab atau Indonesia?
Goenawan Mohamad

Seorang teman saya, seorang Indonesia, ibu dari tiga anak dewasa, pernahberkunjung ke Arab Saudi. Ia tinggal di sebuah keluarga di Riyadh. Padasuatu hari ia ingin berjalan ke luar rumah. Sebagaimana adat di sana, iabersama saudaranya yang tinggal di kota itu melangkah di jalan denganpurdah hitam lengkap. Hanya sepasang matanya yang tampak.
Tapi ia terkejut. Di perjalanan beberapa puluh meter itu, tiba-tiba duamobil, penuh lelaki, mengikuti mereka, mengitari mereka. Mata parapenumpangnya nyalang memandangi dua perempuan yang seluruh tubuhnyatertutup itu.
"Apa ini?" tanya perempuan Indonesia itu kesal.
Cerita ini nyata--dan bisa jadi bahan ketika DPR membahas RUU "AntiPornografi dan Pornoaksi" (kita singkat saja: "RUU Porno"). Cerita inimenunjukkan bahwa dengan pakaian apa pun, perempuan dapat dianggapmerangsang berahi lelaki. Tapi siapa yang salah?
"Yang dapat membangkitkan nafsu berahi adalah haram," kata Fatwa MUI Nomor287 Tahun 2001. Bagi MUI, yang dianggap sebagai sumber "nafsu berahi"adalah yang dilihat, bukan yang melihat. Yang dilihat bagi MUI adalahbenda-benda (majalah, film, buku--dan perempuan!), sedang yang melihatadalah orang, subyek, yaitu laki-laki.
"RUU Porno" itu, seperti fatwa MUI, jelas membawa semangat laki-laki,dengan catatan khusus: semangat itu mengingatkan saya akan para pria yangberada di dua mobil dalam cerita di atas. Mereka melihat "rangsangan" dimana saja.
Di Tanah Arab (khususnya di Arab Saudi yang dikuasai kaum Wahabi yangkeras), sikap mudah terangsang dan takut terangsang cukup merata,berjalinan, mungkin karena sejarah sosial, keadaan iklim, dan lain-lain.Saya tak hendak mengecam itu.
Soalnya lain jika semangat "takut terangsang" itu diimpor (dengandidandani di sana-sini) ke Indonesia, atas nama "Islam" atau "moralitas".
Masalah yang ditimbulkan "RUU Porno" lebih serius ketimbang soal bagaimanamerumuskan pengertian "merangsang" itu. RUU ini sebuah ujian bagi masadepan Indonesia: apakah Republik 17 ribu pulau ini--yang dihuni umatberagam agama dan adat ini--akan dikuasai oleh satu nilai seperti di ArabSaudi? Adilkah bila nilai-nilai satu golongan (apalagi yang belum tentumerupakan mayoritas) dipaksakan ke golongan lain?
Saya katakan nilai-nilai di balik "RUU Porno" datang dari satu golongan"yang belum tentu merupakan mayoritas", sebab tak semua orang muslimsepakat menerima nilai-nilai yang diilhami paham Wababbi itu. Tak semuaorang muslim Indonesia bersedia tanah airnya dijadikan sebuah varian ArabSaudi.
Ini pokok kebangsaan yang mendasar. "Kebangsaan" ini bukan nasionalismesempit yang menolak nilai-nilai asing. Bangsa ini boleh menerimanilai-nilai Wahabi, sebagaimana juga kita menerima Konfusianisme, loncatindah, dan musik rock. Maksud saya dengan persoalan kebangsaan adalahkesediaan kita untuk menerima pluralisme, kebinekaan, dan juga menerimahak untuk berbeda dalam mencipta dan berekspresi.
Mari kita baca sepotong kalimat dalam "RUU Porno" itu:
Dalam penjelasan pasal 25 disebutkan bahwa larangan buat "pornoaksi"(sic!) dikecualikan bagi "cara berbusana dan/atau tingkah laku yangmenjadi kebiasaan menurut adat istiadat dan/atau budaya kesukuan". Tapiditambahkan segera: "sepanjang berkaitan dengan pelaksanaan rituskeagamaan atau kepercayaan".
Artinya, orang Indonesia hanya bebas berbusana jika pakaiannya terkaitdengan "adat istiadat" dan "budaya kesukuan". Bagaimana dengan rok dancelana pendek yang tak ada dalam "adat istiadat" dan "budaya kesukuan"?
Tak kalah merisaukan: orang Jawa, Bali, Papua, dan lain-lain, yangberjualan di pasar atau lari pagi di jalan, harus "berbusana" menurutselera dan nilai-nilai "RUU Porno". Kalau tidak, mereka akan dihukumkarena berjualan di pasar dan lari pagi tidak "berkaitan denganpelaksanaan ritus keagamaan atau kepercayaan".
Ada lagi ketentuan: "Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara ataurekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu,puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarikbagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa".
Jika ini diterima, saya pastikan kesenian Indonesia akan macet. Parapelukis akan waswas, sastra Indonesia akan kehilangan puisi macam Chairil,Rendra, dan Sutardji serta novel macam Belenggu atau Saman. KoreografiGusmiati Suid atau Maruti akan terbungkam, dan film kita, yang pernahmelahirkan karya Teguh Karya, Arifin C. Noer, Garin Nugroho, sampai denganRiri Riza dan Rudi Sujarwo akan menciut ketakutan. Juga dunia periklanan,dunia busana, dan media.
Walhasil, silakan memilih:
(A) Indonesia yang kita kenal, republik dengan keragaman tak terduga-duga,atau
(B) Sebuah negeri baru, hasil "RUU Porno", yang mirip gurun pasir: keringdan monoton, kering dari kreativitas.

7 Maret 2006
koran TEMPO