pembelajaran: makna belajar
Oleh: Andrias Harefa*
Kata "belajar" dalam kamus Poerwadarminta (1953) diberi penjelasan singkat "berusaha (berlatih dsb) supaya mendapatkan sesuatu kepandaian". Dan bila dilacak dari kata dasarnya "ajar", maka "belajar" diberi arti: (1) berusaha supaya beroleh kepandaian (ilmu dsb) dengan menghafal (melatih diri dsb), seperti dalam "belajar membaca" atau "belajar ilmu pasti"; dan (2) berlatih, misalnya dalam "belajar berenang" dan "belajar berkenalan".
Dua kata dalam bahasa Inggris yang paling sering diterjemahkan sebagai "belajar" adalah "learn" dan "study". Kamus Hornby (1985) memberi arti kata "learn": (1) gain knowledge of or skill in, by study, practice or being taught; (2) be told or informed. Kata "learning" kemudian diberi arti "wide knowledge gained by careful study". Sementara kata "study" sebagai kata benda diberi arti: (1) devotion of time and thought to getting knowledge of, or to close examination of, a subject, esp from books; (2) something that attracts investigation; that which is (to be) investigated; (3) be in a brown; (4) room used by sb for reading, writing, etc; (5) sketch etc made for pratiuce or experiment; piece of music played as a technical exercise; (6) earnest effort. Sedang sebagai kata kerja "study" diberi arti: (1) give time and attention to learning or discovering something; (2) give care and consideration to; (3) studied, intentional, deliberate.
Dengan memperhatikan pengertian kamus di atas, tidak terlalu aneh jika sebagian (besar?) anggota masyarakat mempersamakan begitu saja kata "belajar" dengan "sekolah". Bukankah "sekolah" umumnya (dari tingkat SD sampai universitas) dipahami sebagai tempat "belajar" dalam arti memperoleh ilmu pengetahuan alam, sosial, dan lainnya, secara formal? "Belajar" juga dipersamakan dengan "kursus" dan "pelatihan" dalam arti berlatih untuk memperoleh keterampilan tertentu, baik yang bersifat teknis seperti kursus komputer, maupun yang non-teknis seperti pelatihan komunikasi dan manajemen, yang sifatnya non-formal. Masalahnya, dengan mempersamakan begitu saja makna "belajar" dengan proses pendidikan yang bersifat formal dan non-formal, kita bisa melupakan sama sekali dimensi informal dari pendidikan yang justru paling penting dan merupakan dasar dari keduanya.
Karena itu untuk mudahnya saya mengusulkan agar kata "belajar" kita pahami dalam sedikitnya empat arti, yakni: pertama, mengejar pengetahuan diri sebagai manusia (learning to be); kedua, memperkuat solidaritas dan tali silahturahmi sebagai mahluk sosial (learning how to live together); ketiga, meningkatkan pengetahuan (learning how to think and learn); dan keempat, meningkatkan keterampilan (learning how to do).
Arti pertama dan kedua menunjuk pada dimensi informal (baca: pendidikan), yakni proses pembelajaran diluar lembaga-lembaga formal maupun non-formal. Arti ketiga menunjuk pada dimensi formal (baca: pengajaran), dan arti terakhir menunjuk pada dimensi non-formal (baca: pelatihan). Jadi, "belajar" yang sesungguhnya tidak dapat dan tidak mungkin dimonopoli sepenuhnya oleh lembaga-lembaga persekolahan yang formal itu. Tidak juga cukup bila ditambahkan dengan pelatihan-pelatihan di lembaga non-formal, tetapi harus berbasiskan keluarga dan masyarakat dimana hubungan antar pribadi berlangsung secara informal. Manajemen pendidikan berbasiskan sekolah mungkin penting, namun hal itu hanya merupakan sebagian dari proses pembelajaran dan pendidikan dalam artinya yang lebih dalam.
Keempat makna belajar di atas itulah yang membuat saya berkeyakinan bahwa pada hakikatnya manusia itu dilahirkan pertama-tama sebagai mahluk pembelajar. Ia adalah satu-satunya mahluk yang dapat dan memang harus "belajar". Hal itu saya tegaskan dengan menggunakan istilah "manusia pembelajar". Dan dalam buku Menjadi Manusia Pembelajar (Kompas, 2000), istilah "manusia pembelajar" itu saya definisikan sebagai: setiap orang (manusia) yang bersedia menerima tugas dan tanggung jawab untuk melakukan dua hal penting, yakni: pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi-talenta dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti "Siapakah aku?", "Dari manakah aku datang?", "Kemanakah aku akan pergi?", "Apakah yang menjadi tanggung jawabku dalam hidup ini?", dan "Kepada siapa aku harus percaya?"; dan kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasikan segenap bakat-potensi-talenta-nya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuh-penuhnya, seutuh-utuhnya, dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang "bukan dirinya".
Tugas dan tanggung jawab pertama di atas membawa setiap pribadi pada perenungan diri agar ia menyadari keberadaannya sebagai "apa" dan "siapa". Tugas dan tanggung jawab kedua di atas membawa manusia untuk menampilkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri (delinked, tak terkait dengan lingkungannya) sekaligus saling bergantung dengan lingkungan hidup di sekitarnya (linked). Dan "belajar" dalam konteks ini tak lain adalah mengusahakan agar tampilan diri (personalitas, kepribadian) itu mencerminkan hakikat atau jati diri (bakat, karakter) manusia itu.
Kedua tugas dan tanggung jawab tersebut melekat pada keberadaan manusia pribadi lepas pribadi. Tak bisa, dan memang tidak mungkin, ia "mendelegasikan" hal itu kepada pribadi atau pihak (lembaga, misalnya) lain yang bukan dirinya. Sebab saya menyetujui pandangan yang mengatakan bahwa menurut kodratnya, manusia memang memiliki Aufgabe (tugas) untuk membentuk dirinya sendiri. Dan karena ia pada dasarnya adalah unfertiges Wesen, mahluk yang tidak siap, maka ia perlu "belajar" dalam arti mempersiapkan dirinya untuk tugas memanusiawikan dirinya dan sesamanya. Saya juga menyetujui pandangan yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah "pembuat kesalahan" (Islam), semua manusia "telah jatuh ke dalam dosa" (Kristiani), dan "Erare humanum est" (Latin). Dan "belajar" dalam hal ini merupakan proses mengalami "metanoia", "paradigm repentance" alias pertobatan secara moral-spiritual. "Belajar" bukan hanya sekadar memperoleh ilmu pengetahuan, meski itu sangat penting. "Belajar" bukan sekadar meningkatkan keterampilan, meski itu juga penting. "Belajar" itu bertobat, inilah yang terpenting (the most important).
Pada titik ini kita mungkin dapat memahami makna yang lebih dalam dari "belajar". "Belajar" tak lain adalah proses pemanusiawian diri sendiri dan pemanusiawian sesama secara serentak bersamaan. "Belajar" adalah proses mengakui kesalahan dan bersedia meninggalkan yang salah itu dengan cara berharap sepenuhnya kepada Tuhan. Bahwa untuk itu diperlukan pengetahuan (knowledge) dari lembaga-lembaga pengajaran formal (termasuk agama dengan a kecil), sudah pasti. Bahwa untuk itu diperlukan keterampilan (skill) yang bisa diperoleh lewat pelatihan di lembaga-lembaga nonformal, juga jelas. Namun basis utamanya adalah proses pembelajaran dalam suasana informal, pertama-tama di rumah (keluarga) dan kemudian dalam masyarakat (lingkungan). Di rumah dan di masyarakatlah watak moral dan karakter seseorang dibentuk.
Jadi, bila Sindhunata pernah mengatakan bahwa "pendidikan (di Indonesia, meski mungkin juga benar di negara lain-pen) hanya menghasilkan air mata", maka saya bertanya-tanya apa yang terjadi dalam keluarga dan masyarakat kita selama ini? Bagaimana dengan hubungan suami-istri-anak di rumah-rumah kita? Bagaimana hubungan antar tetangga di masyarakat kita? Apakah rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) benar-benar benar-benar menciptakan kerukunan dan bukan pertengkaran? Apakah para pemimpin masyarakat, di pusat dan di daerah, di bidang ekonomi, politik, dan hukum, telah memainkan peranannya sebagaimana seharusnya? Apakah para pemimpin-pemimpin agama benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya? Apakah.......
Mari "belajar", di dalam dan terlebih-lebih lagi di luar lembaga persekolahan!
*) Andrias Harefa, bekerja sebagai knowledge entrepreneur, learning partner, motivational speaker, dan penulis beberapa buku best-seller terbitan Gramedia Pustaka Utama dan Penerbit KOMPAS. Beralamat di www.pembelajar.com
No comments:
Post a Comment