10 June 2007

Perkenalkan, Nama Saya Patung Kinetik

sedikit berbagi, tulisan dari kawan lama...
sekaligus membayar "hutang" kisah kumparan plastik yang silam

PURWOKERTO-Puluhan benda pipih layaknya pita beraneka warna terjuntai ke bawah dan meliuk-liuk berirama. Semakin kencang angin menyambar, semakin genit pula lengkungan spiral itu. Saking terhipnotisnya, seorang pengunjung bahkan sempat berbisik lirih pada Rakyat, “Saya membayangkan ini kayak bokong Inul.”

Sejak Minggu (11/3) kemarin, ruang pamer Komunitas Rumah Arisan memang dipenuhi karya Mursalim (30), seorang seniman patung kinetik (kinetic sculptures) jebolan ISI Yogyakarta, untuk diapresiasi oleh publik. Nama Mursalim terdengar asing, karena semenjak kepulangannya ke Purwokerto pada 2001, ia lebih banyak menggarap seni sastra. Mursalim kerap mengisi acara Sambel Terasi di RRI dengan memakai nama Lin Mursal.



Yohanes D. Sasongko, salah seorang pegiat Komunitas Rumah Arisan, mengatakan, “Penyajian karya ini untuk publik di Purwokerto lebih dititikberatkan pada konsepsi, bukan pada wujud atau visualisasi karya.”

Tatkala berbincang dengan Rakyat di rumahnya (11/3), Mursalim mengaku, karyanya lebih menonjolkan pada aspek warna sebagai satu turunan dari unsur gerak yang wajib terpenuhi. Garis potong warna antara spiral satu dengan yang lain menimbulkan fantasi tersendiri. “Geraknya ada yang ke atas dan ke bawah. Apabila ke atas, ia seolah tak berujung dan mencapai langit. Kalau ke bawah, ia seperti hendak mengebor tanah,” katanya menirukan seorang pengunjung yang dimintai penilaian akan karyanya itu.

Main-Main Sebagai Konsepsi
Patung kinetik memang tak populer di Indonesia. Padahal, jenis karya patung ini mulai berkembang di Eropa pada tahun 1920-an dengan mengedepankan aspek gerak secara nyata dari benda-benda tiga dimensi. Ditengarai baru dikenal di Indonesia pada kisaran akhir 1970-an. Pun demikian, pengakuan atas patung kinetik sebagai salah satu bagian dari seni patung hanya berkutat pada lembaga pendidikan yang khusus mempelajari ikhwal seni.

Mursalim menyebut Marcel Duschamp sebagai salah satu peletak dasar dekonstruksi terhadap patung secara konvensional yang cenderung diam dan hanya mampu menghasilkan efek gerakan yang semu. “Duschamp menyebut karyanya sebagai patung, padahal ia hanya mempertontonkan semacam roda sepeda yang berputar,” ungkap Mursalim sembari tertawa.

Konsepsi “main-main” ini yang lantas menjadi salah satu pedoman para seniman untuk berkarya. Tentulah, istilah main-main bukan sekadar iseng atau berkonotasi tak serius, melainkan lebih pada usaha untuk mencapai suatu pemaknaan dan metode yang baru. Rumus umum memang berlaku, kebaruan menjadi hal mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang seniman. Sebuah karya seni hanya akan menjadi sampah tatkala terjebak pada imitasi realitas yang telah banyak dimamah oleh obrolan di warung kopi atau tempat lain.

Angin Sebagai Penggerak
Mursalim menjelaskan, segala benda tiga dimensi yang bergerak, bisa disebut sebagai patung kinetik. Berbagai macam alat penggerak pun diakui sebagai bagian dari karya tersebut. “Penggerak bisa kita dapatkan dari mesin, atau bahkan yang alami seperti angin dan air,” jelas lelaki yang membutuhkan waktu 11 tahun untuk menamatkan kuliahnya ini.

Karya Mursalim mengandalkan angin sebagai penggeraknya. Tak heran, kita mungkin akan melongo dan gemas tak sabar ketika menyaksikan spiral-spiral itu hanya diam tak bergeming karena angin tak segera berhembus menerpa. Tatkala angin berhembus agak kencang, pengunjung terdiam dan benar-benar terpukau pada gerakan meliuk yang ada di depan mata.

Asas kerja yang sederhana dengan memanfaatkan alam ternyata mampu membuahkan berbagai macam fantasi di benak para penikmat. Seperti gerakan ular yang tak patah-patah, kata seorang pengunjung. “Menakutkan. Saya seperti sedang diserang bor dari segala penjuru,” celoteh pengunjung lain yang merebahkan diri di bawah spiral bergelantungan itu.



Sang seniman sendiri membebaskan penafsiran publik dalam menikmati karyanya. Ia memang ingin menyuguhkan efek secara psikologis. “Ada yang bilang karya saya memberi ketenangan. Ya silakan saja,” katanya lugu.

Karya Yang Steril
Karya seni tentu bukan barang pabrikan yang diproduksi secara massal. Lebih lanjut, kecenderungan para seniman untuk membuat sesuatu yang estetis dan eksklusif ternyata harus berhadapan dengan kekuatan modal. Harapan dari sang seniman menampilkan karyanya ini tak muluk-muluk. Untuk publik Purwokerto ia jelas tak melihat potensi pengakuan dan hanya berharap celetukan heran dari pengunjung, “Oooh, ini patung tho!”

Sayangnya, karya ini merupakan karya yang steril. Ia tak berkehendak untuk menciptakan ruang-ruang sosial untuk berbicara realitas. Padahal, patung kinetik yang mengandalkan unsur gerak, sebenarnya mampu untuk ‘nakal’ melakukan kritik sosial atau bahkan sebagai seni terapan yang sangat berguna. Banyak perkembangan teknologi yang sebenarnya menyisakan ruang bagi kreasi-kreasi seni patung kinetik. Sebutlah misal, kincir angin/air yang apabila mengacu pada asas kerjanya, jelas merupakan bagian darinya. Dan Mursalim sebagai kreator, rasanya belum menuju ke arah itu. (Bayu Kesawa Jati/bkj)