19 January 2007

no justice.. no peace!


don't you know they're talking about a revolution
it sounds like a whisper
[tracy chapman]
...
di tahun 1890, seorang petani Blora, Soerantiko alias Kyai Samin meretas jalan keadilan bersama komunitas lokalnya sebagai perlawanan terhadap kolonial Belanda. tidak dengan hal yang lazimnya dilakukan pada masa itu --pemberontakan bersenjata--, ajaran Kyai Samin didasarkan atas hak milik kolektif dan cara pengolahan tanah secara kolektif, dan gotong royong, dilengkapi dengan aturan pembagian hasil menurut keperluan dan keadilan; ditambah pula dengan adanya disiplin moral yang melarang orang mencuri, membohong, berbuat serong dan sebagainya. sebagai penjelmaan yang anarkistis, aliran Samin, disebut demikian menurut nama pendiri daripada ajaran kudus yang utopis di Jawa Tengah, yaitu Kyai Samin, yang berdasarkan persamaan diantara semua-manusia dan hak milik komunal atas tanah serta hasilnya - menolak untuk mengakui adanya sesuatu kekuasaan atau kewajiban-kewajiban sosial seperti pajak yang berupa uang ataupun kerja. asumsi kolektif yang dikenal dengan ajaran Samin ini setidaknya mau menunjukkan bahwa manusia memiliki pikiran akan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, serta imajinasi kolektif.
bila 900 tahun sebelumnya, masyarakat Jawa, seperti digambarkan oleh Ki Dalang tentang adanya kerajaan Dorowati, "panjang punjung, panjang pocapane, punjung kewibawane". situasi perekonomiannya "hapasir hawukir ngadep segara kang bebandaran, hanengenake pasabinan. bebek ayam rajakaya, enjang medal ing pangonan, surup bali ing kandange dewe-dewe. wong kang lumaku dagang rinten dalu tan wonten pedote, labet saking tan wonten sangsayaning margi". susunan masyarakatnya "tata tentrem, kerta raharja, gemah ripah, loh jinawi". hendak membuktikan bahwa cita-cita Negara dan masyarakat adil dan makmur, yaitu masyarakat sosialis sudah beratusan tahun menjadi milik dan idam-idaman Rakyat Indonesia. imajinasi kolektif inilah yang menjadi ruh dalam perjuangan meretas jalan keadilan hingga hari ini di belahan dunia manapun.
slogan revolusi Perancis yang legendaris --liberte, egalite, fraternite-- mengokohkan ideal-ideal yang mungkin bisa dicapai manusia sebagai mahluk berdaulat. dalam praktiknya, kebebasan itu sendiri, mengalami kontradiksi ketika optimalisasi atas kebebasan seseorang mau tak mau dibatasi oleh optimalisasi kebebasan orang lain, begitupun sebaliknya. inilah kontradiksi kebebasan yang bersifat prosedural, dan ini terjadi dengan asumsi bahwa kemampuan setiap orang setara. mekanisme pembatasan kebebasan yang prosedural ini berlaku secara adil --fair. keadilan sebagai fairness, menurut John Rawls, mengasumsikan adanya keadaan awal core leaders sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang --rasional, bermoral, tidak mementingkan diri sendiri, dan bahkan tidak tahu apa keuntungan-keuntungan yang diperoleh pihak tertentu atas lahirnya sebuah kesepakatan bersama-- yang menyusun aturan main dalam komunitas tersebut.
ketika "kebebasan di antara yang setara" itu dibatalkan dengan "kebebasan di antara yang tidak setara", maka sejak awal mula problemnya bukan pada kebebasan itu sendiri, melainkan pada soal ketidaksetaraan. rupanya rentangan hukum pasar untuk mengatur semua relasi kehidupan, mulai dari urusan politik, budaya, kesehatan, pendidikan, agama, dan bahkan hari ini penanganan bencana, menghilangkan bukan saja imajinasi kolektif kita, bahkan kehilangan kolektivitas itu sendiri.

-- dha ;p

No comments: